“bismillahirrahmanirrahiim......”
terdengar lantunan ayat suci alquran dari suara Linggar yang sedang duduk di
mushola dekat kossnya.
“Linggar” panggil Ilham
sambil mendekat menghampiri Linggar. Linggar pun menjawab dengan menolehkan
kepalanya ke arah Ilham.
“Zilya kirim surat lagi
nih”
“Letakkan saja disitu
Ham” jawab Linggar sambil menunjukkan Ilham tempat untuk meletakkan surat
Zilya.
“Nggar, kasihan Zilya.
Mending kau balas suratnya kali ini” Linggar hanya menjawab dengan tersenyum
kepada Ilham. “Serius aku nggar”
“belum saatnya Ham” jawab
Linggar singkat sambil segera meneruskan kegiatan membaca ayat suci alquran
itu.
...
Langkah kaki Linggar yang
panjang membawa ia ke tempat menuntut ilmu. Diiringi sambutan angin yang menyapu lembut
wajahnya membuat suasana yang menyenangkan untuk tidur saat itu juga. Namun,
Linggar sudah berbeda. Linggar yang isi kepalanya hanya bermain dan bergurau
kini sudah menjadi Linggar yang lebih siap menghadapi masa depan. Seolah masa
depan akan di depannya sebentar lagi, Linggar tak lagi sempat memikirkan hal
yang tidak bermanfaat baginya. Teman-teman yang sedari dulu menemaninya untuk
sekedar bersenda guraupun tak lagi sering menampakkan batang hidungnya di
pandangan Linggar, sebab Linggar kini sudah berbeda. Jauh dari pandangan
Linggar. Sesosok tubuh yang sudah sangat dikenali Linggar mendekat dan
memanggil-manggil namanya. Ilham memanggil-manggil Linggar dengan kecepatan
tinggi dan suara yang keras seolah ia tak memiliki waktu banyak untuk
mengatakan hal yang sepertinya penting kepada Linggar. Respon yang sangat
berbeda muncul dari ekspresi Linggar, ia menjawab panggilan Ilham dengan sangat
santai.
“ kau kenapa Ham?”
“akhirnya ketemu kau
disini juga. Nggar kusarankan ya jangan lewat sini”
“lho kenapa? Ada preman
baru di tempat ini?”
“aishh bukan”
“lalu kenapa? Kau ini
baru datang aneh sekali”
“disana ada Zilya Nggar”
“hahaha kau ini kenapa?
Memangnya kenapa kalau ada Zilya, biasanya juga nggak apa-apa”
“ini beda Nggar”
“alah, aneh kau ini.
Zilya berubah jadi monster yang makan manusia?”
“hmm. Zilya sedang dengan
pacar barunya” nampak jelas di wajah Linggar ada ekspresi terkejut yang
berusaha ia tutupi. Namun, jeda yang sempat terjadi segera Linggar isi dengan
tertawa yang tiba-tiba sekali datangnya. Seolah ia ingin menutupi ada kesedihan
yang mendalam saat itu. “Kau tak apa nggar? Tak usah lah kau sedih ya, masih
banyak wanita di dunia ini. Saat kau sudah pantas nanti, akan banyak yang
memanggil-manggil nama kau untuk dilamar” ucap Ilham sambil menepuk-nepuk bahu
Linggar seolah berusaha menghibur.
“Tidak Ham, Zilya hanya
sedang proses menjadi lebih baik” ucap Linggar sambil pergi berlalu
meninggalkan Ilham. Ilham pun hanya terdiam karena tak mengerti apa yang
dimaksud Linggar.
...
Angin
di bumi masih saja sama, masih sama-sama menyejukkan. Sinar mataharinyapun
demikian, masih sama-sama menghangatkan. Oleh sebab itulah, tak ada hal yang
tak dapat disyukuri kepada Sang Maha Pencipta. Ada hal lain lagi yang masih
sama setelah waktu berjalan sebulan lamanya, perasaan sayang seorang gadis
bernama Zilya yang masih sangat besar untuk kekasih di hatinya, Linggar. Meski
sudah lama mencoba membuka hati untuk pria lain namun sepertinya hati lebih
tahu siapa pemilik sebenarnya. Hati memang begitu, lebih sering tak adil pada
pendatang yang baru. Sebab, logika sekuat apapun masih saja bisa kalah jika
hati memang tak berkenan. Rasanya hambar, tak ada seninya untuk bisa menjadi
cinta. Zilyapun bertahan hanya karena menuruti etika berpacaran. Ya, tentu saja
akan terlihat jahat jika baru sebentar memulai sudah meminta berakhir. Namun,
etika berpacaran itu tak bisa Zilya tahan lebih lama lagi, ia sungguh tak bisa
memaksa dirinya untuk menghadirkan cinta yang memang tidak akan datang. Seolah
Zilya yakin betul, siapa yang benar-benar diinginkan hati kecilnya. Pertemuan
yang dirancang Zilya hari ini sudah ia rencanakan sangat lama sekali. Rio, kekasih
yang tak berhasil merebut hati Zilya pada Linggar mengira pertemuan ini hanya
pertemuan biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Diisi penuh dengan cerita, lalu
diakhiri dengan perasaan seolah tak ingin diakhiri. Ya, tentu saja bukan
perasaan yang ada pada Zilya. Perasaan seperti itu hanya dirasakan Rio seorang.
Jika begini, hati memang terlihat jahat. Namun, mungkin saja itu bagian dari
takdir yang sudah Allah tuliskan di buku kehidupan manusia. Tak terburu-buru
Zilya memulainya, masih ada cerita-cerita kecil dan pertanyaan basa-basi terlebih
dahulu. Rio pun demikan, banyak cerita yang ia perdengarkan pada Zilya,
pertanyaan basa-basi tanda kekhawatirannya pun banyak ia berikan untuk Zilya. Namun,
dua jam sudah cukup bagi Zilya untuk mengutarakan kejujurannya yang akan terasa
pahit untuk Rio. Zilyapun memulainya dengan lancar, tanpa terbata-bata.
“Rio,
sebenarnya aku ingin ngomong sesuatu”
“oh,
apa Zil? Katakan saja”
“aku
merasa tidak bisa lagi menjalani hubungan ini”
“kenapa
Zil? Apa aku melakukan kesalahan?”
“tidak
Rio. Aku yang salah”
“aku
tidak mengerti Zil”
“aku
masih belum bisa mencintaimu Rio, akan lebih baik jika kita berteman saja”
“ah
aku sudah tau itu Zil. Tanpa kamu bilang aku sudah bisa merasakan. Cahaya
matamu hanya berbinar ketika melihat Linggar”
“oh
maaf Rio”
“ya
tidak apa, perasaan memang tidak bisa dipaksa. Aku menyayangimu Zil, aku ingin
kamu bahagia tanpa pura-pura”
“terimakasih
Rio, aku sungguh minta maaf”
“tidak
apa Zil, semua akan baik-baik saja. Anggap saja ini bagian dari takdir”
...
bersambung (kek film tersanjung ihihi)
SOCIALIZE IT →